Monday, January 23, 2012

Man On Wire




Plot: Phillipe Petit memiliki mimpi yang besar. Ketika ia masih kecil, ia melihat sebuah iklan bahwa gedung World Trade Center, sebuah gedung yang dulu disebut-sebut akan menjadi gedung tertinggi di dunia, sedang akan dibangun di New York City, Amerika. Petit pun bermimpi untuk suatu hari nanti akan menyebrangi dua buah gedung tersebut hanya dengan sebuah kawat sebagai jembatannya. Film dokumenter ini lah yang akan menceritakan kronologis sebuah peristiwa seorang laki-laki yang terobsesi mewujudkan mimpinya dan di saat yang sama, sebuah behind the scene dari aksi illegal yang mendebarkan.

Review: Man On Wire adalah sebuah film dokumenter yang menceritakan tentang dibalik layar sebuah peristiwa yang sempat menghebohkan Amerika dulu di tahun 1974; seseorang tiba-tiba ditemukan sedang berdiri di atas kawat panjang yang menghubungkan dua menara kembar yang tingginya mencapai 110 lantai. No strings attached. Film ini melukiskan sebuah obsesi dan determinasi Petit serta orang-orang terdekatnya untuk dapat berhasil melakukan aksi 'gila' Petit tersebut. Kalau secara sekilas, apa yang dilakukan oleh Petit semerta-merta hanyalah sebuah ajang pencari perhatian. Bagi orang awam, sebenarnya apa sih maksud di balik aksi Petit? Dia tidak mengatasnamakan siapa-siapa, let alone bringing political statement. Tidak ada yang ingin ia raih in particular, kalau mau dihubungkan dengan society di sekelilingnya. Tapi bagi Petit, inilah suatu klimaks mimpi nya. Sebuah puncak pencapaian apa yang ia fantasikan sejak dirinya masih ingusan. Sebuah aksi yang sepertinya tidak akan pernah terulang lagi di kemudian hari.

Man on Wire disajikan oleh James Marsh, sang sutradara, dengan atmosfir yang sangat seru. Layaknya heist movie, MoW menyuguhkan rentetan persiapan pertunjukkan ilegal yang dilakukan oleh grup Petit. Tontonan yang diberikan bener-bener mendebarkan. Anehnya, walaupun dari awal sebenarnya kita sudah tau apakah Petit berhasil melakukan aksinya atau tidak, tetap saja kita dibuat deg-degan karenanya. Bisa kita saksikan betapa culasnya grup ini menyamar menjadi petugas WTC, menginfiltrasi orang dalam sampai bermain petak umpet dengan security guard. Ada satu adegan yang sangat lucu terselip dalam film ini. Ketika Petit dan salah seorang rekannya tanpa sengaja dipertemukan dengan seorang satpam ketika sedang mempersiapkan equipment di lantai puncak WTC. Gak tanggung-tanggun, bahkan hingga 2 kali di waktu yang berbeda. Lihat betapa kocak dan menegangkan (serta beruntung!) ketika hal tersebut terjadi. Tak lupa dengan betapa commited-nya grup Petit yang bahkan untuk menghindari bertemu dengan security guard atau orang lain memutuskan untuk tidak menggunakan lift, tetapi menaiki tangga dari lantai dasar hingga lantai paling atas. Seperti adegan dalam film dimana tangganya gak abis-abis, katanya.
Di balik semua itu, ternyata terdapat sebuah kisah yang tak kalah serunya. Seperti pantang-menyerah-nya Petit untuk berlatih dan merancang the masterplan, hampir gagalnya peristiwa bersejarah (?) ini gara-gara cuaca dan cold feet, hingga sebuah argumen yang membuat sahabat dekat menjadi renggang hubungannya. Sungguh beruntung, Petit dkk tidak lupa mendokumentasi aksinya dengan kamera atau video, hingga Marsh dapat mengumpulkan foto-foto dan footage dari peristiwa yang sudah terjadi lama sekali, di dekade 70an lalu. Beberapa adegan yang tak sempat direkam oleh Petit maupun rekan-rekannya di reka ulang dengan re-enactment hitam putih serta narasi cerita yang dijabarkan Petit dan teman-temannya sendiri. Cinematography yang ditampilkan pun sangat artistik, sampai ke bagian penataan musik yang tak kalah indahnya. Man on Wire memang di-craft sedemikian rupa hingga akhirnya menjadi tontonan yang sangat menghibur.


Phillipe Petit, selain literally 'man on wire', secara kiasan menurut saya juga ia berada di garis antara pemberani yang sangat nekat atau seorang lunatic yang tidak takut mati. Beberapa orang akan menganggap aksi Petit adalah sebuah aksi "heroik" yang menggugah, dan yang lain akan menyangka ia hanya seorang gila yang bermain-main dengan kematian. Apapun pendapat orang, Petit tidak bisa disangkal adalah seorang artis yang perfeksionis dan ambisius. Tetapi itu lah yang sebenarnya menjadi sebuah kelemahan Petit (yang ketika muda sangat sangat mirip dengan aktor Malcolm McDowell). Ia terlihat menjadi seorang yang hmmm might I say, egois? This stunt was all about himself. Di beberapa bagian, ia terlihat seperti don't give a freakin damn about his surroundings, yang penting mimpinya yang telah ia rancang ini sukses dilaksanakan. Tetapi itu lah yang membuat Petit terlihat seperti.. human. Dia tidak lah sempurna. Kalau boleh saya mengasumsikan, Petit lebih suka bekerja sendiri, a loner. Walaupun aksinya ini tidak dapat berjalan tanpa adanya teamwork dan loyalitas dari rekan-rekannya.

Overview: Film seperti Man on Wire adalah salah satu contoh bagaimana sebuah film dokumenter tidak lah selalu membosankan. Pemenang Best Documentary Feature dalam pagelaran Academy Awards 2009 lalu ini membuktikan pernyataan tersebut dengan sebuah tontonan yang suspenful. Memiliki tone yang hampir sama dengan The Cove, film dokumenter yang menang setahun kemudian, Man On Wire memberikan hiburan yang menegangkan layaknya sebuah film kriminal. Sebagian orang mungkin tidak bisa menangkap sense tentang aksi Petit, tetapi setelah akhirnya kita menuju bagian ending, melihat ekpresi Petit ketika dirinya 'menari' di atas kawat yang menghubungkan antara dua menara WTC, betapa emosionalnya ketika teman-temannya mengingat kejadian tersebut, that wow factor di muka para pejalan kaki, hingga ekspresi undescribable dari seorang polisi yang memberikan statement penangkapan Petit, kita akhirnya sadar; it was one hell of a show.

Directed byJames Marsh
Produced bySimon Chinn
StarringPhilippe Petit
Music byJ. Ralph (title theme)
Michael Nyman
CinematographyIgor Martinovic
Editing byJinx Godfrey
StudioWall to Wall
Distributed byMagnolia Pictures (US)
Icon Productions (UK)
Diaphana Films(France)
Release date(s)January 22, 2008(Sundance)
Running time90 minutes
CountryUnited Kingdom
LanguageEnglish
French

Technical Specs

Video Codec: XviD ISO MPEG-4
Video Bitrate: 1468 kbps
Video Resolution: 704x400
Video Aspect Ratio: 1.760:1
Audio Codec: AC3
Audio Bitrate: 192kb/s CBR 48000 Hz
Audio Languages: Mixed English & French
RunTime : 1:34:06
Part Size: 1120MB
Subtitles: English/French
Ripped by: Dentje



The Last Nazis





If we all supposed that nazis were already died, you all were wrong! There are some nazis remain alive. So, how are the stories? 

Kalau kamu  penasaran dengan kisah orang-orang Nazi yang masih hidup ini, maka wajib untuk menonton trilogi film dokumenter yang berjudul The Last Nazis ini. 
Film pertama yang bertajuk The Hunt for Dr. Death mengulas tentang kisah Aribert Heim yang dijuluki sebagai Doktor Kematian. 
Mengapa dijuluki begitu? Pasalnya, Aribert adalah pelaku operasi bedah secara sadis kepada para tahanan Nazi.  Bayangkan, dokter ini membedah bagian-bagian tubuh para tahanan Nazi ini tanpa obat bius! Hingga akhirnya, para ‘korban’ dokter ini meninggal. Saat ini, Aribert Heim disinyalir masih hidup, bebas dari peradilan, dan memiliki kekayaan berlimpah. Dalam film ini, kita akan melihat seorang Dr. Efrain Zuroff dalam perburuannya mencari "the world's wanted Nazi War Criminal", Aribert Heim. 

Film kedua, Most Wanted, menceritakan tentang dua orang yang membantu Hitler melakukan pembantaian manusia yang juga bebas dari peradilan. Bahkan, ada di antara orang-orang ini yang tidak ingat kalau mereka pernah melakukan pembantaian tersebut. Usia mereka kini sudah menginjak sekitar 90 tahunan dan hidup tenang tanpa merasa pernah melakukan kekejaman di masa lalu, karena mereka menganggap saat itu mereka hanya melaksanakan tugas militer. 

Film ketiga, The Children of the Master Race, mengisahkan anak-anak yang tadinya dilahirkan untuk menjadi penerus Nazi. Kini, anak-anak tersebut sudah tumbuh dewasa dan hidup dengan batin sengsara karena memiliki identitas yang tidak jelas. Mereka juga hidup diliputi rasa bersalah karena memiliki embel-embel ‘keturunan Nazi’ dalam darah mereka. Trilogi film dokumenter ini dikemas dengan sangat menarik, sehingga tidak membosankan untuk ditonton dari awal sampai akhir. Terlebih lagi, pengetahuan kita tentang sejarah dan perkembangan Nazi menjadi bertambah setelah menyaksikan film ini. 

Technical Specs

  • Video Codec: XviD 
  • Video Bitrate: 1513 kbps
  • Video Resolution: 704x400
  • Video Aspect Ratio: 1.76
  • Frames per Second: 25
  • Audio Codec: (Dolby AC3) 
  • Audio Bitrate: 256kb/s 48000 Hz
  • Audio Languages: English
  • RunTime Per Part: 58mins
  • Part Size: 746MBs
  • Number of Parts: 3
  • Subtitles: English
  • Ripped by: artistharry
  • Source: TV-cap

General Information

History Documentary hosted by David Morrissey and published by BBC in 2009 - English narration

Kategori: VCD
Produser: Morgan Matthews, Simon Berthon
Produksi: BBC (Vision Home Entertainment), 2010